MEMPERGAULI MANUSIA DENGAN AKHLAK YANG BAIK



Mempergauli Manusia dengan Akhlak yang Baik
Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc - 6 years ago

Mempergauli Manusia dengan Akhlak yang Baik


Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِهِ هَذِهِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“…si mukmin berkata, “Inilah yang akan membinasakanku…” Barang siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, hendaklah ia mendatangi kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah ia berinteraksi dengan manusia (dengan akhlak) yang ia suka diperlakukan dengannya…” (HR. Muslim) [1]
Hendaklah ia bergaul dengan orang lain dengan akhlak yang mulia sebagaimana ia suka dipergauli oleh manusia dengan akhlak yang mulia. Hendaklah ia berlemah lembut kepada orang lain sebagaimana ia suka orang-orang bersikap lemah lembut kepadanya. Hendaklah ia bertutur kata yang sopan kepada orang lain sebagaimana ia suka orang lain bertutur kata yang sopan kepadanya dan seterusnya.
Lalu, akhlak mulia apakah yang dibutuhkan oleh manusia yang hidup di akhir zaman ini? Semua akhlak mulia amat baik untuk kehidupan manusia, namun ada beberapa akhlak yang sangat penting kita perhatikan di akhir zaman ini. Perhatikanlah hadis yang disampaikan oleh seorang shahabat yang mulia yang bernama Al Mustaurid Al Qurasyi, ia berkata,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تَقُومُ السَّاعَةُ وَالرُّومُ أَكْثَرُ النَّاسِ فَقَالَ لَهُ عَمْرٌو أَبْصِرْ مَا تَقُولُ قَالَ أَقُولُ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . قَالَ لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ إِنَّ فِيهِمْ لَخِصَالًا أَرْبَعًا إِنَّهُمْ لَأَحْلَمُ النَّاسِ عِنْدَ فِتْنَةٍ وَأَسْرَعُهُمْ إِفَاقَةً بَعْدَ مُصِيبَةٍ وَأَوْشَكُهُمْ كَرَّةً بَعْدَ فَرَّةٍ وَخَيْرُهُمْ لِمِسْكِينٍ وَيَتِيمٍ وَضَعِيفٍ

“Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari kiamat terjadi dan kaum Romawi pada waktu itu orang yang paling banyak jumlahnya.” Amru berkata, “Coba tinjau kembali apa yang engkau katakan tadi!” Ia berkata, “Aku menyampaikan apa yang aku dengar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Amru berkata kepadanya, “Jika engkau berkata demikian, sesungguhnya orang-orang Romawi itu mempunyai empat perangai: Mereka adalah manusia yang paling halim ketika terjadi fitnah, yang paling cepat sadar setelah datangnya musibah, yang paling cepat kembali setelah kalah, yang paling baik kepada anak yatim, orang miskin, dan lemah.” (HR Muslim)[2]
Amru bin Al ‘Ash menyebutkan perangai-perangai yang baik yang ada pada mereka bukan sebagai pemberian loyalitas dan pujian untuk mereka namun beliau hanya menyebutkan sebab-sebab terbesar mengapa mereka menjadi orang yang paling banyak jumlahnya pada saat tegaknya hari kiamat, dan empat perangai ini termasuk akhlak yang diperintahkan oleh Islam, maka kaum musliminlah yang seharusnya paling berhak untuk bersifat dengannya. Dan boleh jadi hadis ini mengabarkan bahwa mereka akan masuk Islam di akhir zaman. Wallahu a’lam.
Bila empat perangai yang indah ini diiringi dengan aqidah yang lurus dan keimanan yang kokoh kepada Allah dan Rasul-Nya pasti akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat bagi kaum muslimin, oleh karena itu kita akan sedikit menjelaskan empat perangai ini agar dapat kita amalkan:

a.      Bersifat Halim ketika Terjadi Fitnah
Sifat halim adalah sifat yang dicintai oleh Allah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al Asyaj Abdul Qais:

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

“Sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai oleh Allah yaitu Al Hilmu dan Al Anah.” (HR. Muslim)[3]

Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan berkata menjelaskan hakikat sifat halim: “Definisinya adalah menahan diri ketika emosi meledak, dan sesuatu yang dapat mendorong kita untuk menahan diri adalah sifat kasih sayang kepada orang yang bodoh, dada yang lapang, menjauhi caci maki, dan cita-cita yang tinggi. Maka orang yang mempunyai akal pikiran yang lurus dan keperibadian yang dewasa selayaknya mengimbangi ledakan emosi dengan sifat halim dan sabar sehingga ia akan bahagia mendapatkan akibat yang baik.
Dan sikap manusia berbeda-beda dalam menghadapi peristiwa yang memancing emosi, di antara mereka ada yang mudah emosi dan tergesa-gesa, dan di antara mereka ada yang tenang tidak terpancing keadaan yang amat panas sekalipun. Yang pertama adalah orang yang bodoh dan yang kedua adalah orang yang terjaga dengan kebeningan pikiran dan keperibadian yang kuat, dan itu tidak akan bisa diraih kecuali apabila kedewasaan akal dapat meredam emosi yang liar.
Inilah nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar meniti tujuan yang mulia, bahkan fenomena ringannya akal dan sikap tergesa-gesa adalah fenomena yang menyimpang dari bimbingan Alquran..”[4]

b.      Cepat Sadar Setelah Datangnya Musibah
Musibah yang menimpa seorang mukmin membangunkan hatinya yang bercahaya dengan cahaya iman. Ia segera introspeksi diri mempelajari sebab-sebab terjadinya musibah, dan berusaha memperbaiki diri dengan cara kembali kepada Allah dan taubat yang nasuha, karena musibah itu datang akibat ulah manusia:

  وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ

“Dan tidaklah ada musibah yang menimpamu kecuali akibat perbuatan tangan-tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa : 30).
Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa tidaklah Allah menimpakan musibah kepada hamba pada badan, harta dan anak-anak mereka dan pada apa yang mereka cintai kecuali disebabkan oleh perbuatan buruk mereka…”[5]
Perhatikanlah kemudian renungkan ayat ini, di negeri ini berbagai macam musibah datang mendera; tsunami, gempa bumi, banjir bandang, kaum muslimin dibunuhi dan dilecehkan dan berbagai macam musibah lainnya seakan tak henti-henti menerpa, dan Allah tak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya sedikit pun namun merekalah yang berbuat zalim. Maka hamba yang hatinya masih ada secercah cahaya kehidupan segera terhentak sadar dan memahami bahwa semua ini adalah sebagai peringatan untuk umat Islam agar segera kembali kepada Allah.
Namun sayang sekali banyak manusia yang telah keras hatinya, tak bermanfaat baginya peringatan dan musibah, bahkan ia semakin berburuk sangka kepada Rabbnya, sampai kapankah wahai kaum muslimin kita terus tenggelam dalam kelalaian?? Apakah sampai adzab Allah datang?!
وَمَامَنَعَ النَّاسَ أَن يُؤْمِنُوا إِذْجَآءَهُمُ الْهُدَى وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلآأَن تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ اْلأَوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلاً
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia dari beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka dan memohon ampun kepada Rabbnya kecuali keinginan menanti datangnya hukuman Allah yang berlaku pada umat-umat yang dahulu atau datangnya adzab atas mereka dengan nyata.” (QS. Al Kahfi : 55).

c.       Cepat Kembali Setelah Kalah
Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda bagi orang yang berakal dan beriman. Ia adalah pengalaman yang berharga dan pelajaran emas dalam kehidupan. Dahulu di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin pernah tertimpa kekalahan dalam dua peperangan yaitu Perang Uhud di putaran kedua dan Perang Hunain di putaran pertama, dua kejadian ini Allah abadikan dalam Alquran agar menjadi pelajaran yang berharga bagi mereka bahwa kekalahan itu adalah akibat menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya.

Pertama: Kisah kekalahan kaum muslimin di perang uhud, apakah sebabnya wahai saudaraku? Sebabnya adalah karena sebagian pasukan pemanah tidak mau menaati perintah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam agar jangan turun baik dalam keadaan menang maupun kalah. Ternyata ketika kaum muslimin meraih kemenangan di awal peperangan, tergiurlah sebagian pasukan pemanah, lalu mereka pun turun untuk ikut mengambil ghonimah, akan tetapi apakah yang terjadi? Pasukan kaum musyrikin berputar membokong kaum muslimin dari arah bukit pertahanan pasukan pemanah, sehingga kaum muslimin menderita kekalahan. Maka Allah abadikan kejadian tersebut dalam Alquran agar dijadikan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.
Allah Ta’ala berfirman,

أَوَلَمَّآأَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badar) kamu berkata: “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “Itu dari kesalahan dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 165)
Allah tidak menyandarkan kekalahan kaum muslimin akibat kekuatan persenjataan kaum musyrikin dan banyaknya jumlah mereka, akan tetapi Allah menyandarkan kekalahan akibat perbuatan kaum muslimin itu sendiri.
Jadi ayat ini adalah pelajaran berharga bagi kita bahwa sebab utama kehinaan kaum muslimin dewasa ini bukan karena kecanggihan persenjataan musuh dan hebatnya taktik dan tipu muslihat mereka, akan tetapi karena kaum muslimin itu sendiri yang banyak menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidakkah engkau lihat kenyataan pahit yang tersaksikan oleh mata kepala; bagaimana kesyirikan, perdukunan, mistik, bid’ah, khurofat, dan kemaksiatan merajalela?!!
Maka menerangkan sunah dan bid’ah, tauhid dan syirik kepada umat adalah jalan satu-satunya menuju kejayaan umat Islam. Sehebat apapun rencana busuk orang-orang kafir tidak akan memberikan kemudlorotan kepada kaum muslimin selagi mereka bersabar dalam menjalani ketaatan dan bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman:

إِن تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِن تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِن تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لاَ يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak akan mendatangkan kemodloratan kepadamu, sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran: 120)
Ibnu Katsir berkata, “Allah memberikan bimbingan kepada mereka kepada jalan keselamatan dari kejahatan orang-orang yang jahat dan tipu muslihat orang-orang yang fajir dengan cara menggunakan kesabaran, taqwa dan tawakkal kepada Allah yang meliputi musuh-musuh mereka, karena tidak ada daya dan upaya kecuali dengan idzin Allah.”[6]
Kedua: Kisah kekalahan kaum muslimin di Perang Hunain di awal perang, akibat dari sebagian kaum muslimin yang merasa bangga dengan jumlah yang banyak, sehingga Allah timpakan kepada mereka kekalahan akibat perbuatan tersebut. Lalu Allah mengabadikan kisah tersebut dalam Alquran, Allah berfirman,

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مًّدْبِرِينَ

“…dan ingatlah peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai berai.” (QS. At Taubah : 25)
Allahu Akbar! Hanya karena merasa bangga dengan jumlah yang banyak kaum muslimin kalah! Bagaimana jadinya bila kaum muslimin berbuat syirik, bid’ah, perdukunan, dan maksiat besar lainnya?!! maka jadikanlah semua itu sebagai pelajaran penting bagi kita, dan pelajaran itu bermanfaat untuk orang-orang yang beriman.
Kedua ayat tadi sangat sepadan dengan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّمَا أهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلىَ أنْبِيَائِهِمْ

“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dan ini lafadz Muslim).[7]
Dan para shahabat adalah orang yang paling cepat kembali setelah kalah, mereka segera intropeksi diri dan mempelajari sebab-sebab kesalahan untuk diperbaiki dan segera bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang mereka lakukan, demikianlah seharusnya kita meniru mereka.

d.      Berbuat Baik kepada Orang-Orang yang Lemah
Berbuat baik kepada orang yang lemah adalah sebab datangnya rezeki dan pertolongan Allah Ta’ala, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ

“Carilah aku (dengan memperhatikan) orang-orang yang lemah, sesungguhnya kamu diberi rezeki dan pertolongan melalui orang-orang lemah kalian.” (HR. Abu Dawud)[8]
Islam memerintahkan umatnya untuk memperhatikan orang-orang yang lemah dan memberikan pahala yang besar bagi mereka yang melakukannya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَحْسِبُهُ قَالَ وَكَالْقَائِمِ لَا يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لَا يُفْطِرُ

“Orang yang membantu para janda dan orang miskin seperti orang yang berjihad di jalan Allah, dan seperti orang yang terus menerus shalat malam dan puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)[9]
Ibnu Bathal rahimahullah berkata, “Barang siapa yang tidak mampu berjihad di jalan Allah dan lemah untuk shalat malam dan berpuasa di waktu siang hendaklah ia mengamalkan hadis ini; hendaklah ia memberi keluasan rezeki kepada para janda dan orang-orang miskin agar ia dikumpulkan bersama orang-orang yang berjihad di jalan Allah tanpa harus bertemu musuh, dan agar dikumpulkan bersama orang-orang yang selalu berpuasa dan shalat malam padahal ia makan di waktu siang dan tidur di malam hari.
Maka hendaklah setiap muslim bersungguh-sungguh melakukan perniagaan yang tak akan pernah rugi ini dengan membantu kehidupan para janda dan orang-orang miskin karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala sehingga ia mendapatkan keuntungan dalam perniagaannya dengan diberikan derajat Mujahidin, orang yang selalu berpuasa dan shalat malam tanpa harus bersusah payah, dan itu adalah keutamaan yang Allah berikan kepada siapa yang Ia kehendaki.”[10]
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang memperhatikan anak yatim, beliau bersabda,

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim di dalam surga seperti ini, beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan melebarkan sedikit antara keduanya.” (HR. Bukhari).[11]
[1] Muslim 3:1472 no.1844.
[2] Muslim 4:2222 no.2898.
[3] Muslim 1:48 no 76.
[4] Arba’un haditsan, Hal 12.
[5] Taisir Al Karimrrahman, Hal. 705. Cet. Muassassah Risalah.
[6]Tafsir Ibnu Katsir 2:77 Tahqiq Hani Al Haaj.
[7] Bukhari no.7288 dan Muslim 2:975 no.1337.
[8] Lihat Silsilah Shahihah, no.779.
[9] Bukhari no.6006 dan Muslim 4:2287 no.2982.
[10] Ibnu Bathal, Syarah Shahih Bukhari, 9:218 tahqiq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim.
[11] Bukhari no.6005.

Posting Komentar

0 Komentar