BERBAHAGIALAH ORANG YANG TERASING (GHUROBA)


Oleh : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc



Kalau kita sendirian di kampung, menjalankan Islam, akan merasa seperti orang yang terasing.



Kalau kita berjenggot di kantoran, juga terasing.



Kalau kita bercelana cingkrang, juga terasing.



Kalau di antara wanita ada yang menutup aurat sempurna bahkan sampai mengenakan cadar, kian terasing.



Bahkan berakhlak jujur, ingin mengikuti ajaran sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan ingin menjauhi kesyirikan, sama halnya kian terasing.



Itulah keterasingan Islam saat ini. Namun tak perlu khawatir, berbanggalah menjadi orang yang asing selama berada dalam kebenaran. Thuba lil ghurobaa.



Penganut Islam yang Terasing di Tengah Umatnya yang Banyak



Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ



“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing.” 

(HR. Muslim no. 145).



Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan makna hadits di atas sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi,



أَنَّ الإِسْلام بَدَأَ فِي آحَاد مِنْ النَّاس وَقِلَّة ، ثُمَّ اِنْتَشَرَ وَظَهَرَ ، ثُمَّ سَيَلْحَقُهُ النَّقْص وَالإِخْلال ، حَتَّى لا يَبْقَى إِلا فِي آحَاد وَقِلَّة أَيْضًا كَمَا بَدَأَ



“Islam dimulai dari segelintir orang dari sedikitnya manusia. Lalu Islam menyebar dan menampakkan kebesarannya. Kemudian keadaannya akan surut. Sampai Islam berada di tengah keterasingan kembali, berada pada segelintir orang dari sedikitnya manusia pula sebagaimana awalanya.” 

(Syarh Shahih Muslim, 2: 143)



Sebagaimana kata As Sindi dalam Hasyiyah-nya terhadap kitab Sunan Ibnu Majah,



غَرِيبًا أَيْ لِقِلَّةِ أَهْله وَأَصْل الْغَرِيب الْبَعِيد مِنْ الْوَطَن



Disebut ‘gharib’ jika pengikutnya sedikit dan maksud asal dari kata ‘gharib’ adalah jauh dari negeri.



( وَسَيَعُودُ غَرِيبًا ) بِقِلَّةِ مَنْ يَقُوم بِهِ وَيُعِين عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ أَهْله كَثِيرً



Kembali dalam keadaan asing karena sedikitnya yang mau menjalankan dan saling menyokong dalam menjalankan syari’at Islam padahal umatnya banyak.



(فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ) الْقَائِمِينَ بِأَمْرِهِ



Beruntunglah orang yang asing, yaitu yang menjalankan ajaran Islam tersebut.



و”طُوبَى” تُفَسَّر بِالْجَنَّةِ وَبِشَجَرَةٍ عَظِيمَة فِيهَا



Thuba sendiri ditafsirkan dengan surga dan pohon besar yang berada di surga.



وَفِيهِ تَنْبِيه عَلَى أَنَّ نُصْرَة الإِسْلام وَالْقِيَام بِأَمْرِهِ يَصِير مُحْتَاجًا إِلَى التَّغَرُّب عَنْ الأَوْطَان وَالصَّبْر عَلَى مَشَاقّ الْغُرْبَة كَمَا كَانَ فِي أَوَّل الأَمْر



Ini menunjukkan bahwa memperjuangkan dan menjalankan ajaran Islam memang butuh akan keterasingan dari negeri. Ketika itu butuh ada kesabaran ekstra dalam menghadapi keterasingan sebagaimana keadaan Islam di awal-awal. Demikian penjelasan As Sindi.


Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan berbagai makna dari kata ‘thuba’ sehingga makna ‘thuba lil ghuroba’ adalah sebagai berikut:



Kegembiraan dan penyejuk mata, yaitu mereka adalah yang paling bergembira dan jadi penyejuk mata, sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas.

Ni’ma maa lahum, yaitu sebaik-baik sesuatu yang mereka miliki, sebagaimana pendapat dari ‘Ikrimah.

Ghibto lahum, yaitu merekalah yang pantas dihasad dalam kebaikan, artinya berlombalah dengan mereka dalam kebaikan, sebagaimana pendapat Adh Dhohak.

Husna lahum, yaitu merekalah yang berhak mendapat kebaikan, sebagaimana pendapat dari Qatadah.

Khoirul lahum wa karomah, yaitu merekalah yang mendapat kebaikan dan karomah, sebagaimana pendapat dari Ibrahim.

Dawamul khoir, yaitu merekalah yang mendapat kebaikan terus menerus, sebagaimana pendapat dari Ibnu ‘Ajlan.

Ada ulama yang mengatakan bahwa thuba adalah pohon di surga.

Ketika menyebutkan berbagai tafsiran di atas, Imam Nawawi nyatakan bahwa semuanya bisa menafsirkan makna hadits yang dibahas. (Syarh Shahih Muslim, 2: 153).



Berlanjut dalam tulisan “Siapakah yang Terasing?”




Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, @ Darush Sholihin, 14 Jumadal Ula 1436 H (5 Maret 2015)



Naskah Khutbah Jum’at di Masjid Al Fatah Kota Ambon, 15 Jumadal Ula 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Posting Komentar

0 Komentar