KAJIAN KITAB AL-KAB'IR - DOSA BESAR KE-7 MEMAKAN RIBA | USTADZ SAEFUDDIN ABU ZAEN HAFIZHAHULLAH




Dosa Besar ke- 7

MEMAKAN RIBA


Allah Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”
(QS. Al-Baqarah: 278-279)

     Allah Ta'ala berfirman,

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu karena mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Al-Baqarah: 275)

 Ayat ini merupakan ancaman yang sangat menakutkan, yaitu dengan ancaman akan kekal di dalam neraka untuk orang-orang yang masih berurusan dengan riba, padahal telah diperingatkan. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan hanya karena Allah.

     Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ

“Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau n menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”.
[HR. al-Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669]

     Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ

“Allah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”,
[HR. Muslim, no. 4177]

     Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

آكِلُ الرِّبَا وَمُوْكِلُهُ وَكَاتِبُهُ إِذَا عَلِمُوا ذَلِكَ مَلْعُوْنَ عَلَی لِسَانِ مُحْمَّدٍ صَلَّی اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ.

" Orang yang memakan riba, yang memberinya riba dan yang mencatatnya, apabila mereka mengetahui hal ini, maka di hari Kiamat kelak mereka dilaknat atas lisan Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.”
(HR. An-Nasaa'i)

  ☑ Syarah
        
        
Syaikh Utsaimin Rahimahullah berkata, “Riba artinya penambahan atau penangguhan. Karena riba bisa berbentuk penambahan atas sesuatu dan bisa juga dalam bentuk penangguhan pembayaran. Allah Ta’ala telah menjelaskan hukum riba di dalam kitan-Nya dan disebutkan pula ancamannya. Demikian pula Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam telah menjelaskan hukum riba dan ancamannya. Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam telah menjelaskan proses terjadinya riba dan cara-caranya. Sesungguhnya riba ada di dalam enam jenis benda, yaitu emas, perak, gandum, beras, kurma, dan garam. Inilah enam jenis barang yang biasa dijadikan objek riba.
     
Jika engkau menukar sesuatu dengan barang  yang sejenis, maka engkau harus memperhatikan dua perkara. Yaitu harus ada kesamaan nilai dan saling menerima (barangnya) sebelum berpisah.
    
Jika engkau menukar perak dengan perak, maka  kedua perak tersebut harus memiliki berat yang sama dan terjadi proses serah terima dari kedua belah pihak sebelum berpisah.
    
Jika engkau menukar gandum dengan gandum, maka kedua gandum tersebut harus memiliki berat yang sama dan terjadi proses serah terima dari kedua belah pihak sebelum berpisah.
    
Jika engkau menukar kurma dengan kurma, maka kedua kurma tersebut harus memiliki berat yang sama dan terjadi proses serah terima dari kedua belah pihak sebelum berpisah. Demikian pula halnya jika engkau menukar garam dengan garam.
     
Cara seperti ini harus diperhatikan jika engkau menukar sesuatu barang yang sejenis dari keenam jenis barang tersebut diatas. Apabila engkau menukar sesuatu dengan barang yang tidak sejenis, maka haruslah terjadi serah terima sebelum berpisah dan tanpa disyaratkan adanya kesamaan nilai atau berat.
    
Jika engkau menukar satu sha’ gandum dengan dua sha’ syair (kacang-kacangan), maka hal ini tidak dilarang. Akan tetapi, dengan syarat harus terjadi proses serah terima sebelum berpisah. Apabila engkau menukar satu sha’ kurma dengan dua sha’ syair (kacang-kacangan), maka hal ini pun tidak dilarang. Akan tetapi, hal tersebut harus dilakukan dengan syarat harus terjadi proses serah terima sebelum berpisah. Demikian juga halnya apabila engkau menukar emas dengan perak. Diperkenankan apabila terjadi penambahan atau pengurangan nilainya. Akan tetapi, harus terjadi proses serah terima sebelum berpisah.
    
Inilah enam jenis barang yang disebutkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang biasa dijadikan objek riba. Demikian pula sesuatu yang semisalnya, maka hukumannya sama seperti hukum barang-barang tersebut diatas. Karena syari’at Islam tidak pernah membeda-bedakan antara dua jenis barang yang serupa atau sejenis. Demikian pula syari’at ini tidak pernah menyamakan antara dua jenis barang yang berbeda.
     Adapun hukum riba adalah termasuk diantara tujuh perkara yang membinasakan. Karena termasuk diantara kelompok dosa-dosa besar, wal 'iyaadzubillah. Barangsiapa yang melakukan praktik riba, maka dirinya menyerupai orang-orang Yahudi. Karena orang-orang Yahudi adalah kelompok manusia yang biasa memakan barang haram dan memakan riba. Oleh karena itu, barangsiapa yang bertransaksi dengan cara riba dari umat ini (umat Islam), maka dirinya telah menyerupai orang-orang Yahudi. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

     Bentuk ancaman riba tercantum di dalam firman Allah Ta'ala,

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
[QS. Al-Baqarah: 275]

     
Setan ternyata bisa menguasai (merasuki) anak cucu Adam. Kita memohon keselamatan kepada Allah dari hal ini. Kecuali apabila Allah memberikan karunia kepada seseorang dengan dzikir-dzikir yang syar'i yang bisa melindunginya dari setan. Seperti membaca ayat Kursi pada setiap malam atau membaca ayat-ayat yang lainnya sebagaimana yang kita ketahui bersama. Setan bisa menguasai anak cucu Adam dan merasukinya sehingga si korban berjalan terseok-seok (tangannya mengepal dan kakinya berjingkrak-jingkrak). Maka para pemakan riba yang berkelakuan seperti seorang yang sedang dirasuki setan, seperti orang gila!
     
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama Rahimahullah, Apakah makna “Tidaklah mereka berdiri dari kubur-kubur mereka pada hari kiamat, melainkan dengan cara seperti ini (seperti orang kerasukan). “Maksudnya mereka berdiri dari alam kuburnya seperti orang-orang gila seolah-olah setan sedang merasukinya (syaraf otaknya terganggu). Ataukah maknanya bahwa mereka tidak bisa berdiri karena riba, dikarenakan mereka biasa memakan riba dan seolah-olah mereka adalah orang-orang gila karena ketamakan, keserakahan, dan kerakusan mereka. Sehingga di dunia ini, mereka pantas disebut orang-orang yang kerasukan?
     
Yang benar bahwa ayat tersebut apabila memungkinkan memiliki dua makna dan ayat tersebut mencakup kedua makna tersebut sekaligus. Maksudnya semasa di dunia, mereka selalu bertindak sembarangan dan berbuat seperti perbuatan orang-orang yang kerasukan setan (gila). Maka sama halnya ketika di akhirat, mereka akan bangkit dari alam kuburnya dengan cara seperti ini (seperti orang kerasukan). Kita memohon keselamatan kepada Allah.
    
Kemudian Allah Ta'ala berfirman untuk menjelaskan bahwa mereka telah melakukan -penganalogian yang tidak tepat. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba” Hal ini sama halnya seperti engkau menjual seekor kambing kepada seseorang seharga seratus riyal (Rp 250.00) yang dianalogikan dengan engkau menukar satu dirham dengan dua dirham. Apakah ada perbedaannya? Lalu mereka berkata, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba” Penganalogian mereka ini serupa dengan Penganalogian setan pada saat Allah memerintahkan untuk sujud kepada Adam,

قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ

“Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”.
(QS. Shaad [38] Ayat 76)

Setan telah menganalogikan perintah Allah dengan perbandingan yang tidak tepat (apakah ada hubungannya antara perintah sujud dengan jawab setan?). Mereka pun (para pemakan riba) menganalogikan nya dengan sebuah perbandingan yang tidak tepat. Sehingga Allah Ta'ala menerangkan bahwa tidak ada analogi ketika berhadapan dengan hukum syar’i.
     Allah Ta'ala berfirman, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Allah tidak semata-mata menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, kecuali adanya unsur perbedaan yang besar antara keduanya dan sesungguhnya keduanya tidak bisa disamakan!
     Namun, orang yang telah ditutup mata hatinya oleh Allah akan melihat kebaikan sebagai kebenaran dan melihat kebenaran sebagai kebatilan, wal 'iyaadzubillah. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman tentang orang-orang yang telah ditutup hatinya oleh Allah,

إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ ءَايَٰتُنَا قَالَ أَسَٰطِيرُ ٱلْأَوَّلِينَ

“yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu”.
(QS. Al-Muthaffifiin [83] Ayat 13)

Jika hati sudah tertutup, wal 'iyaadzubillah, ia akan melihat kebatilan sebagai kebenaran dan melihat kebenaran sebagai kebatilan. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba” maka Allah berfirman, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
     Kemudian Allah Ta'ala menawarkan taubat-Nya kepada mereka, para pemakan riba. Sebagaimana biasanya, Allah Ta'ala akan menawarkan taubat-Nya kepada orang-orang yang berbuat dosa agar mereka kembali kepada-Nya. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan dirinya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

اللّٰهُ أَشَدُّ فَرَ حًا بِتَوْ بَةِ عَبْدِ هِ مِنْ أَحَدِ كُمْ بِرَا حِلَتِهِ.

"Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya dibandingkan gembiranya salah seorang dari kalian terhadap hewan tunggangannya.”
(HR. Al-Bukhari 6309 dan HR. Muslim 2747)

Kisahnya yaitu ketika itu ada seorang laki-laki (berjalan) ditengah-tengah padang pasir menunggangi hewan tunggangannya (untanya) dan membawa perbekalannya (makanan dan minumannya). Tiba-tiba hewan tunggangannya tersebut menghilang dengan membawa seluruh perbekalannya (makanan dan minumannya). Padahal ia sedang berada di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas. Tidak ada seorang pun yang menemaninya untuk mencari hewan tunggangannya itu dan ia pun tidak menemukannya. Kemudian ia pun berbaring dibawah sebuah pohon untuk menunggu ajalnya tiba. Ketika sedang berbaring pada saat kondisinya sedang kritis, tiba2 ada tali kekang seekor unta yang tersangkut pada pohon tersebut. Dalam keadaan sekarat, ia memegang tali kekang tersebut dan berkata,

اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِ يْ وَأَنَا رَبُّكَ.

“Wahai Allah, engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu!”

Sebenarnya ia ingin mengatakan, “Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu!” Akan tetapi, dikarenakan ia sangat bergembira, maka ia pun lepas kontrol dan salah mengucapkannya.
     
Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah lebih gembira dengan taubat-Nya seorang manusia dibandingkan kegembiraan orang ini terhadap hewan tunggangannya dan kegembiraan orang tersebut tidak bisa dirasakan oleh seorang pun pada saat ini. Kita tidak bisa menggambarkan betapa gembiranya orang tersebut. Seorang laki-laki yang tengah sekarat menghadapi maut, kehilangan harta benda, makanan, minuman, dan unta tunggangannya. Kemudian secara tiba-tiba, semuanya itu ada dihadapannya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggambarkan kegembiraan orang tersebut. Ternyata Allah lebih gembira dengan taubat-Nya seorang hamba daripada gembiranya orang tersebut ketika menemukan kembali unta tunggangannya. Coba anda perhatikan, apa yang Allah firmankan mengenai para pemakan riba.

     Allah Ta'ala berfirman,

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ


"Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu ia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya.”
(QS. Al-Baqarah: 275)

Segala puji bagi Allah! Yaitu orang yang memakan riba bertaubat setelah diperingatkan oleh Tuhannya, maka apa-apa yang telah diambilnya dahulu (diampuni). Namun, jika telah datang larangan dan ia masih memiliki harta riba yang sedang ditanggung oleh orang lain, maka ia harus menghapuskan tibanya. Karena Allah Ta'ala berfirman, “Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu” Sedangkan yang masih ada bukan lagi miliknya. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam pada saat haji Wada mengumumkan secara terang-terangan sesuatu yang berlaku sampai hari Kiamat tiba. Beliau bersabda, “Riba Jahiliyah telah dihapuskan (dilarang)”
     
Yaitu riba yang dahulu digunakan oleh mereka sebagai alat untuk mencari keuntungan di masa jahiliah telah dihapuskan yang pada saat itu banyak diantara kerabat beliau Shalallahu Alaihi wa Sallam yang melakukan praktik riba. Apakah mereka juga harus menghapuskan ribanya atau tidak? Oleh karena itu, Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Riba pertama yang aku hancurkan adalah ribanya Al-Abbas bin Abdul Muthalib. “Kemudian bagaimana hubungan beliau dengan Al-Abbas bin Abdul Muthalib? Al-Abbas adalah paman beliau. Akan tetapi beliau menyatakan bahwa riba pertama yang beliau hancurkan (dihapus) adalah ribanya Al-Abbas. Seperti inilah hukum dan kekuasaannya.
     
Pertama kalinya, beliau mulai menerapkan kekuasaan ini yaitu pada kerabat dekat beliau. Berbeda dengan kebiasaan manusia zaman sekarang. Kerabat penguasa biasanya memiliki perlindungan diplomatik yang membuat mereka bisa berbuat sekehendaknya. Akan tetapi, pada masa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, beliau justru mengatakan, “Riba pertama yang aku hancurkan adalah ribanya Al-Abbas bin Abdul Muthalib.” Karena itu, semua riba dilarang. Umar Radhiyallahu Anhu mempertegas lagi bahwa jika beliau melarang seseorang, maka beliau mengumpulkan keluarga dan kerabatnya lalu mengatakan, “Aku akan melarang orang lain dari perbuatan seperti ini dan seperti itu. Semua orang akan memperhatikan kalian sebagaimana seekor burung (burung pemangsa daging) memperhatikan daging (santapannya). Demi Allah, jika aku mendengar bahwa ada salah seorang dari kalian (kerabat beliau) yang justru melakukannya, maka aku akan menghukumnya dua kali lipat.”
      
Berapakah hukuman yang akan beliau timpakan? Satu atau dua kali lipatnya? Ternyata dua kali lipatnya. Hal ini dikarenakan mereka, para kerabat beliau, ketika melakukan kesalahan, akan berlindung atau merasa aman karena merasa mempunyai kedekatan dengan pengusaha. Maka kedekatan ini menjadikan hukuman yang kalian akan terima menjadi dua kali lipatnya.
     
Allah Mahabesar! Dengan cara seperti itu, para sahabat menguasai barat dan belahan timur dunia dan umat manusia pun tunduk kepada mereka. Akan tetapi, umat Islam zaman sekarang tidak melakukan hal serupa. Karib kerabat penguasa sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi, Umay Islam dan sistem kekhilafahan lah yang pertama kali memberlakukan hukuman seperti ini. Kepada siapakah? Ternyata kepada para kerabat penguasa. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada tuduhan bahwa si fulan berkuasa hanya bertujuan untuk melindungi karib kerabatnya dari hukum.
     
Walhasil bahwa Allah Ta'ala dengan karunia, kemuraha, Rahmat, dan kelembutan-Nya selalu menawarkan taubat-Nya kepada orang-orang yang berdosa, “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu.” 
(QS. Al-Baqarah:275)
    
 Kita memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa kita.
     Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ فَتَنُوا۟ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ

“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu’min laki-laki dan perempuan”.
(QS. Al-Buruuj: 10)

Kepada siapakah ayat tersebut ditujukan? Kepada  Ashabul Ukhdud yang telah menggali parit kemudian mereka memasukan kaum muslimin kedalam parit yang menyala-nyala. Barangsiapa yang beriman, maka ia akan dimasukkan kedalam api tersebut.

 وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ﴿٧﴾ وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِالَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ﴿٨﴾

“sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mu'min itu melainkan karena orang-orang mu'min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
(QS. Al-Buruj 7-8)

Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya, orang-orang yang mendatangkan cobaan (bencana, membunuh, menyiksa) kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, “Allah menawarkan taubat-Nya kepada mereka, padahal mereka telah membakar para kekasih Allah (orang-orang yang beriman). Akan tetapi, Allah Ta'ala menyukai orang-orang yang bertaubat, “Lalu mereka tidak bertobat, maka mereka akan mendapat azab Jahanam dan mereka akan mendapat azab (neraka) yang membakar.”
(QS. Al-Buruuj: 10)
     
Allah Ta'ala berfirman, “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Setelah mereka mengetahui hukum riba ini, “Mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”(QS. Al-Baqarah: 275)
     
Inilah hukuman mereka di akhirat. Sedangkan hukuman mereka di dunia adalah:

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا 


“Allah memusnahkan riba”
(QS Al-Baqarah 276)

  Allah Ta'ala akan memusnahkan riba.
    
 Dalam hal ini terdapat dua jenis pemusnahan:
Pemusnahan hakiki. Misalnya dengan menghabiskan hartanya. Hal tersebut dapat terjadi dengan cara mengirimkan penyakit yang menyerang tubuhnya dan memerlukan pengobatan (yang banyak memakan biaya), atau dengan mengirimkan penyakit yang menimpa anaknya, hartanya dicuri, dan mengalami kebakaran. Inilah diantara bentuk hukuman di dunia, “Allah musnahkan riba” yaitu pemusnahan hakiki.
Pemusnahan maknawi. Seseorang memiliki banyak harta (miliuner). Akan tetapi, hidupnya seperti orang miskin, ia tidak bisa memanfaatkan hartanya. Apakah orang seperti ini akan disebut sebagai orang kaya? Orang tersebut selamnya tidak akan disebut orang kaya! Nasib orang tersebut lebih jelek daripada nasib orang miskin. Karena harta yang ada (bermiliar-miliar di bank), justru ia siapkan untuk ahli warisnya. Sedangkan ia sendiri tidak bisa menikmati harta tersebut. Apakah pemusnahan ini kita namakan pemusnahan maknawi atau pemusnahan hakiki? Jelas, ini adalah pemusnahan maknawi. “Allah musnahkan riba.”
     
Kita meminta kepada Allah agar memberikan karunia kepada kita bersama nasihat yang bisa menghidupkan hati kita dan memperbaiki keadaan kita.
      
Allah Ta'ala berfirman, “Dan menyuburkan sedekah,” Allah akan menyuburkannya. Yaitu Allah menumbuhkan dan mengembangkan sedekah. Karena Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ فَإِنَّ اللهَ يَقْبَلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّيْ أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.


“Barangsiapa yang bersedekah dengan sesuatu yang senilai dengan sebutir kurma dari usaha yang halal, sedangkan Allah tidaklah menerima kecuali yang thayyib (yang baik), maka Allah akan menerima sedekahnya dengan tangan kanan-Nya kemudian mengembangkannya untuk pemiliknya seperti seorang di antara kalian membesarkan kuda kecilnya hingga sedekah tersebut menjadi besar seperti gunung.”
(HR. Bukhari, no. 1410 dan Muslim, no. 1014)

      Allah Ta'ala berfirman,

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٢٦١)

“Perumpamaan orang yang meninfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 261)

Oleh karena itu, sedekah merupakan kedermawanan dan bentuk penggambaran kepada Allah. Apabila seseorang menyedekahkan sebagian hartanya, maka Allah Ta'ala akan melipatgandakan pahala sedekahnya dan akan menganugerahkan keberkahan kepada hartanya yang masih tersisa. Sebagaimana dalam sebuah riwayat bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ


“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”

Sesungguhnya Allah menyebutkan sedekah berdampingan dengan riba. Riba adalah kedzaliman karena dilakukan dengan cara mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil. Sedangkan sedekah merupakan bentuk kedermawanan dan perbuatan yang terpuji. Bandingkanlah antara sedekah dengan riba agar semua orang mengetahui perbedaan antara orang-orang yang dermawan dengan orang-orang yang zhalim, para pemakan riba.

     Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٧)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati.”

Allah Ta'ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah,” Allah memerintah kaum muslimin agar bertakwa kepada-Nya. Kemudian Allah berfirman, “Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” Maksudnya tinggalkan dan jangan kalian ambil. Allah menyebutkan hal yang khusus setelah menyebutkan hal yang bersifat umum. Hal ini dikarenakan perintah bertakwa kepada Allah bersifat umum, yaitu meninggalkan segala yang dilarang dan melaksanakan segala yang diwajibkan. Kemudian ketika Allah berfirman, “Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)” maksudnya tinggalkan lah sisa riba yang masih ada. “Maka jika engkau tidak melaksanakannya,” yakni meninggalkan sisa riba yang masih ada, “Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (QS.Al-Baqarah: 279)

     Allah Ta'ala berfirman,

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.”
(QS.Al-Baqarah: 279)

Maknanya bahwa kalian telah mengumumkan perang terhadap Allah dan rasul-nya. Kita memohon keselamatan kepada Allah.
      
Allah Ta'ala berfirman, “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS.Al-Baqarah: 279)
     
Maksudnya jika engkau bertaubat dari mengambil riba, maka kalian akan mendapatkan modal dari harta kalian yang dipinjamkan. Engkau memberikan pinjaman seratus dengan kewajiban membayar sebesar seratus dua puluh. Apabila engkau bersungguh-sungguh dalam taubatmu, maka yang engkau ambil hanya seratusnya saja. Karena Allah Ta'ala mengatakan“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
     
Di antara manusia ada yang terpengaruh dengan analogi yang tidak tepat, padahal sudah ada keterangan yang jelas. Seseorang mengatakan, “Jika engkau menabung di bank asing, apakah di Amerika, Inggris atau di Perancis atau di negara mana pun, maka sesungguhnya engkau telah mengambil riba (bunga) dan sebaiknya uang riba tersebut engkau sedekahkan.”
     
Mahasuci Allah. Ada seseorang yang melumuri tangannya dengan darah dan najis kemudian ia berniat membersihkannya. Maka dapat dikatakan kepadanya kenapa tidak sejak awal dia menjauhi najis tersebut? Penganalogian seperti ini tidak sah karena bertolak belakang dengan keterangan yang ada. Jika mereka memberikan (riba) kepadamu, maka tidaklah. Katakan bahwa syari’at Islam telah mengharamkan riba bagi umatnya. Sebagian orang ada yang mengatakan, “Kalau engkau tidak mengambil bunga nya, maka mereka (pihak bank/ orang-orang kafir) akan menggunakannya untuk pembangunan gereja-gereja dan untuk memerangi kaum muslimin.”
      
Kita katakan kepada orang yang mengatakan ucapan ini, “Mungkin saja pihak bank akan menggunakan bunga tersebut untuk (kepentingan) dirinya sendiri atau untuk kerabatnya. Kemudian jika ucapannya benar bahwa bunga tersebut dipergunakan untuk pembangunan gereja-gereja, apakah bunga tersebut telah masuk ke rekeningmu sehingga engkau dikatakan telah membantu mereka? Sesungguhnya bunga tersebut tidak masuk kedalam rekeningmu.
     
Oleh karena itu, mereka tidak memberikan bunga dari tabunganmu. Mungkin saja mereka akan mencampurkan uangmu kedalam uang mereka dan kemudian merugi. Sesungguhnya mereka (pihak bank) telah memberikan bunga (riba) untuk pokok tabunganmu dan bukan keuntungan. Sehingga engkau mengatakan, “Aku telah memberikan uangku kepada mereka untuk dipergunakan di dalam hal yang diharamkan,” Anggapanku salah! Apabila bunga tersebut memang benar berasal dari uangmu atau uangmu telah menghasilkan keuntungan besar, tetapi engkau tidak mau mengambilnya karena dianggap sebagai bunga (uang riba), kemudian mereka (orang-orang kafir/pihak bank) memanfaatkannya untuk pembangunan gereja-gereja dan untuk memerangi kaum muslimin. Apakah engkau telah memerintahkan mereka untuk melakukan hal ini?
     
Anggapanku tidak benar. Bertakwalah kepada Allah. Milikmu adalah pokok (modal) tabunganmu. Engkau tidak berbuat zhalim dan engkau pun tidak menzhalimi.
     
Adapun jika engkau mengambil bunga (riba) tersebut kemudian engkau mengatakan akan menyedekahkannya. Maka perumpamaan untuk orang seperti ini sama halnya dengan orang yang memegang kotoran dan meremasnya kemudian ia berkata, “Apakah ada air? Aku mau membersihkan tanganku ini.” Maka hal ini pun tidak dibenarkan. Kemudian ia pun berkata, “Siapakah orangnya yang bisa menjamin bahwa jika engkau mengambil bunga bank satu atau dua juta, apakah engkau akan menyedekahkannya atau justru engkau merasa sayang (Bakhil) sehingga engkau tidak menyedekahkannya. Kemudian engkau pun berkata, “Demi Allah, uang dua juta ini harus aku sedekahkan? Tunggu dulu…! Aku tidak akan menyedekahkannya. Kemudian setelah waktu berlalu dan engkau pun meninggal Duni. Engkau meninggalkan uang tersebut untuk ahli warismu. Kemudian jika engkau melakukan hal yang seperti itu, niscaya engkau akan menjadi panutan bagi orang lain. Orang lain pun akan mengatakan bahwa si Fulan yang bertakwa saja menabung di bank dan mengambil bunganya. Sehingga mereka dapat menganggap bunga bank tidak haram?” Pada kondisi seperti ini, engkau merasa benar-benar telah menjadi panutan orang lain.
     Kemudian apabila kita terus menerus melakukan praktik riba, maka hal ini menandakan bahwa kita tidak berupaya untuk mendirikan Bank Islam. Karena untuk mendirikan sebuah Bank Islam tidaklah mudah. Hal tersebut sangatlah sulit dan memiliki banyak kendalanya. Kaum muslimin sendiri banyak yang menolak pendirian Bank Islam. Apabila hal ini terus berlarut-larut, maka hal ini akan dianggap hal yang wajar dan orang-orang akan berani mengatakan, “Kami akan terus melakukan praktik riba sampai Allah menakdirkannya berdirinya Bank Islam.” Akan tetapi, apabila sejak awal dikatakan bahwa riba adalah haram, maka pada saat itu, kaum muslimin akan terpacu untuk mendirikan Bank Islam sehingga tidak akan terus bergantung kepada bank-bank Ribawi (bank konvensional)
      
Intinya bahwa barangsiapa yang mengatakan, “Ambil bunganya kemudian sedekahkanlah!” Sesungguhnya ia melawan Nash (firman Allah atau sabda Nabi) dengan analoginya, padahal Allah Ta'ala telah menjelaskan,

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)

maka kamu berhak atas pokok hartamu; Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)
(QS Al-Baqarah: 279)

Apabila praktik riba yang terjadi pada zaman Jahiliyah pada masa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah dilarang oleh beliau, padahal riba tersebut belum dilarang oleh Allah dan orang-orang Jahiliyah pun telah memakluminya bahwa riba dibolehkan. Akan tetapi, beliau tetap melarangnya dan mengatakan,

رِبَا الْجَا هِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ.

"Riba Jahiliyah telah dihapuskan!”

     
Bagaimana mungkin seseorang muslim yang mengetahui haramnya riba kemudian ia berkata kepadamu, “Aku akan mengambil bunganya untuk disedekahkan.” Kesimpulan dari semua ini yaitu suatu hal yang sangat ironis bahwa ada sebagian para ulama terkenal yang memfatwakan bahwa bunga bank boleh diambil dengan dengan niat disedekahkan. Padahal kalau saja mereka (para ulama tersebut) mau menelitinya secara mendalam, tentu mereka pun akan mengetahui bahwa mereka telah salah (mengeluarkan fatwa)
     
Apa alasan kita dihadapan Allah pada hari Kiamat kelak, “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu” Allah tidak meneruskan firman-Nya ini dengan kalimat, “Kecuali jika kalian bertransaksi dengan orang-orang kafir.” Akan tetapi, Allah Ta'ala berfirman, “Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Didalam ayat ini, Allah tidak mengatakan,“Kecuali jika kalian bertransaksi dengan orang-orang kafir, maka ambillah oleh kalian riba tersebut.”
     
Sebenarnya kami merasa sedih melihat ada sebagian para ulama terkenal yang memfatwakan seperti ini. Padahal jika mereka mau meneliti kembali fatwa ini, tentu mereka akan mengetahui bahwa fatwa mereka ini salah. Dalam hal ini, Allah telah berfirman kepadaku bahwa engkau hanya berhak mengambil pokok (modal) tabunganmu. Engkau tidak berbuat zhalim dan engkau pun tidak dizalimi. Maka aku menjawab, “Aku mendengar dan aku taat wahai Rabb ku.”
     
Aku akan mengambil pokok (modal) tabunganku dan bunganya bukan tanggungjawab ku. Kita dapat membiarkan mereka menggunakannya pada hal-hal yang mereka kehendaki. Apakah mereka tidak mampu untuk membangun gereja-gereja, kecuali dengan keuntungan yang mereka peroleh dari tabunganku? Padahal gereja-gereja berdiri megah dan kaum muslimin terus menerus diperangi, baik dengan uang milikmu ataupun dengan uang orang lain. Apakah persoalan ini sangat bergantung kepada uang milikmu yang mereka pergunakan untuk membangun gereja-gereja dan memerangi kaum muslimin? Hal ini merupakan praduga kalau mereka telah memanfaatkan uang riba tersebut dalam hal-hal yang telah disebutkan di atas.
     
Akan tetapi, semua ini hanya praduga yang ditiupkan oleh setan. Setan membisikan, “Jika bunga tabunganmu tidak engkau ambil, maka mereka akan memanfaatkannya untuk membangun gereja-gereja dan untuk memerangi kaum muslimin.” Siapa yang telah mengatakan ucapan ini? Yang jelas, kami mempercayai Al-Qur'an, “Maka kamu berhak atas pokok hartamu; Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)”(QS Al-Baqarah: 279)
     
Apabila kita mengikuti syari'at-Nya, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar bagi setiap kesusahan dan kesulitan. Adapun sebaliknya, jika kita mengikuti analogi dan mengatakan sebuah perkataan seperti yang mereka katakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba” (QS. Al-Baqarah :275) atau seperti setan yang mengatakan, “(Iblis) berkata, “Aku lebih baik daripadanya, karena engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia engkau ciptakan dari tanah.”(QS. Shaad: 76). Maka ucapan ini merupakan salah besar dan yang terpenting bahwa hal ini -wahai saudaraku- sudah sangat jelas, tidak perlu pertimbangan yang lain, “Maka kamu berhak atas pokok hartamu; Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)”(QS Al-Baqarah: 279)
     
Apabila seseorang yang memiliki utang sedang dalam kesulitan dan waktu pelunasan utang yang telah jatuh tempo, tetapi ia tidak memiliki apa pun (bangkrut misalnya), maka janganlah kesusahannya ditambah karena ia mengulur-ulur waktu pelunasan utangnya ini. Kemudian ia (penagih) berkata, “Aku bisa bersabar barang beberapa hari.” Kemudian ia pun berkata, “Aku tidak akan memberimu pinjaman lagi. Tetapi karena sekarang engkau sedang bangkrut, maka utanmu yang seribu (bisa seribu dolar misalnya) akan aku jadikan seratus ribu (seratus ribu dolar) dalam tempo satu tahun.” Janganlah engkau bersikap seperti ini, lihatlah ayat selanjutnya!

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan”(QS Al-Baqarah: 280). Apabila waktu pelunasan utang orang miskin ini telah jatuh tempo, tetapi ia tidak mempunyai sejumlah uang untuk membayarnya, maka engkau wajib menangguhkannya, “Maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.”
     
Siapakah yang telah mengatakan, “maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan?” Yang menyuruh (mengatakannya) adalah Allah Ta'ala. Dia-lah yang akan memberimu harta dan orang yang mempunyai utang kepadamu. Allah telah membolehkanmu untuk mempergunakan harta tersebut dan telah berfirman kepadamu, “Apabila pengundang sedang dalam keadaan bangkrut, maka engkau harus memberinya tenggang waktu.” Janganlah engkau justru mengatakan kepadanya, “Aku tidak mau memberimu tenggang waktu, aku akan memasukan mu kedalam penjara. Kalau tidak, maka aku akan menambahkan bunganya (terus berbunga). Orang tersebut patut ditanyakan, “Kemanakah larinya iman? Mana pengaruh dari ibadahnya?” Seorang hamba yang hakiki adalah seorang yang berkata kepada Allah, “Aku mendengar dan aku taat!”
      
Adapun Orang yang diperbudak oleh uang, maka ia akan memikirkan uang setiap harinya tanpa mempedulikan sumbernya. Inilah type hamba dirham dan Dinar (hamba uang). Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah mendoakan kecelakaan baginya. Allah Ta'ala berfirman,

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٨٠)

“Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu; Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika menyedekahkan (sebagian atau semua hutang), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 279-280)

Kemudian Allah menyebutkan derajat yang paling mulia daripada hanya memberi tenggang waktu, yaitu “Dan jika menyedekahkan (sebagian atau semua hutang), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”(QS Al-Baqarah: 280)
     
Jika si pengutang benar-benar mengalami kesulitan dan engkau pun mengetahuinya, maka engkau harus bersedekah kepadanya. Sebaiknya engkau berkata kepadanya, “Wahai Fulan, pada saat ini engkau sedang susah. Maka aku (berniat) untuk membebaskanmu dari utang-utangmu.” Maka hal ini akan lebih baik. Apabila perbuatan ini dianggap lebih baik, maka lakukanlah.
     
Apakah ketika engkau terlahir dari perut ibumu engkau telah membawa seribu karung emas, seribu karung pakaian, seribu karung perak dan seribu karung sepatu? Apakah benar begitu? Tidak, engkau terlahir dari perut ibumu tanpa membawa apapun, engkau terlahir dalam keadaan telanjang, tidak ada selembar benangpun yang menempel di tubuhmu. Lalu, siapakah yang telah memberimu harta? Allah-lah yang telah memberimu harta. Allah berfirman kepadamu, “Kerjakanlah hal ini!” Maka engkau pun berkata, “Aku mendengar dan aku taat.”
     
Allah Ta'ala berfirman, Dan jika menyedekahkan (sebagian atau semua hutang), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 280).
Kemudian ayat ini ditutup dengan firman-Nya,

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (٢٨١)

“Dan takutlah pada hari ketika kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan)”
(QS Al-Baqarah: 281)

 Takutlah terhadap hari ini yang mahahebat, hari ketika semua manusia akan kembali menghadap Allah dalam keadaan telanjang, tidak beralas kaki, dan belum di khitan.

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ (٣٤) وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ (٣٥) وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ (٣٦) لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ (٣٧)

“ pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya.Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.”
(QS . 'Abasa: 34-37)

Takutlah terhadap hari itu. Takutlah terhadap malapetaka pada saat itu dengan cara menaati Allah Ta'ala. Bagaimanapun juga riba adalah haram, baik dilakukan dengan cara terang-terangan maupun dengan cara tipu muslihat. Apabila riba dilakukan dengan cara tipu muslihat, maka dosa lebih besar dan akan membuat hati semakin keras,

     Allah Ta'ala berfirman,

كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (١٤)

“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.”
(QS. Al-Muthafifin: 14)

Oleh karena itu, engkau melihat orang-orang banyak yang melakukan riba dengan cara tipu muslihat dan mereka berpendapat bahwa riba adalah halal, tidak berdosa apa-apa. Akhirnya mereka tidak bisa melepaskan diri dari riba tersebut.
     
Akan tetapi, bagi siapa yang melakukan perbuatan yang jelas-jelas diharamkan kemudian ia merasa malu kepada Allah dan mengakui kalau dirinya sedang bermaksiat kepada-Nya, maka untuk orang seperti ini terkadang Allah akan membiarkannya atau bisa juga Allah akan hidayah sehingga ia pun bertaubat kepada-Nya.

"Di ketik ulang Oleh tim Jambi Bertauhid berdasarkan kitab Al-Kaba'ir".





💠💠💠

Posting Komentar

0 Komentar